Mencari Rumah Idaman; Tentang Sebuah Pengorbanan (Part 1)


Sampai di bulan kesembilan di tahun 2018 ini, hal yang paling mengesankan dalam perjalanan hidup gue sekeluarga adalah pindah rumahyang kesekian kalinya. Beberapa orang mungkin bertanya, “pindah rumah lagi, Mit?”

Dengan nyengir gue jawab, “iya” 😀

Sering Pindah dan Mendadak!

Dari hidup bersama orang tua gue, kemudian kos beberapa bulan di Depok, setelah itu mencoba merasakan udara Rawamangun. Gue kembali ke rumah orang tua karena suami yang dipindahtugaskan ke Pangkalpinang selama satu tahun.
Sampai akhirnya gue kembali tinggal di rumah masa kecil gue di Bintaro sektor 5 selama hampir 3 tahun (pas Mas Akib kembali ditugaskan di Jakarta). Terakhir, rumah yang kita tempatin setahun belakangan di Bintaro sektor 4. Sebuah perjalanan nomaden yang cukup panjang, ya? Pantas kan jika ada yang berkomentar, “wah juaraaak pindahan, Lo, Mit!”

Haha.

Padahal ini nggak seberapa, sih. Pasti ada yang perjalanan nomadennya lebih panjang dibanding kita :’D

Kenangan di Sektor 5
Kenangan di Sektor 5 (Agustus 2014 – Juni 2017)

Omong-omong… kita juga nggak menyangka bakal pindah dari rumah di sektor 5 secepat itu, sih. Karena pada awalnya, rumah milik bapak itu direncanakan untuk dapat ditinggalin kita lebih lama. Tapi Allah takdirkan lain.. karena Lia, adik gue nomor 2, menikah lebih cepat dari dugaan awal kita.

Bapak dengan perhitungannya yang sedemikian rupa, dapet ilham supaya kita cari dua hunian baru. Yak, buat keluarga kecil gue sm adik gue. Biayanya dari mana? Ya dari penjualan rumah sektor 5 itu.

Syok?
BANGET!
Tanpa basa-basi, nggak lama setelah hari pernikahan Lia, bapak bilang, “Mita Akib, rumah sektor 5 mau dijual ya. Siap-siap pindah.”

And we said, “….WHAT!!!?”

Walaupun nggak langsung terjual, tapi bapak dengan perfeksionisnya, minta kita segera pindah karena rumahnya akan dirapikan, dipermak dan direnovasi kembali. Bukan dengan tanpa hitungan loh, pastinya supaya harga jual rumah bisa naik dan menarik di mata pembeli.

Mencari Kontrakan di Bintaro

Nah, selama masa renovasi tersebut, gue dan mas Akib terpaksa ngontrak untuk jangka waktu yang ngga dapat dipastikan. Perhitungan kita pada awalnya, enam bulan mengontrak, rumah sektor 5 sudah terjual. Tapi pada kenyataannya nggak secepat itu. Yang pasti, gue harus segera pindah dari sektor 5.

Panik. Banget.

img_20170802_162848_hdr-e1535995463968.jpg
Kenangan di Sektor 4 (Juli, 2017)

Bayangin.. pernikahan Lia bulan Mei 2017, bulan Juli-nya kita mesti “cabut” dari rumah itu. Dan kami sama sekali nggak ada bayangan sebelumnya. Bener-bener semendadak itu. Tapi karena kita numpang, tentu harus menurut, kan? 😂

Jadilah perjalanan gue dan mas Akib nyari iklan sewa dan kontrak rumah. Target lokasi masih di sekitaran Bintaro, karena kita yang udah terlalu nyaman di Bintaro, dengan perkiraan budget yang masuk akal.

Bahkan impian kita saat itu, agar mudah pindahannya (red-karena bakalan pindah lagi :”D), bisa dapet kontrakan masih di sektor 5 juga. Kenapa? Karena luas rumah dan biaya yang menurut kita pas untuk keluarga kecil.
Eh ternyata…. disinilah kami belajar sebuah pengorbanan dalam mencari lokasi rumah.

Apa aja sih pengorbanannya?

  1. Ketika udah cintaak banget dengan lokasi suatu perumahan karena strategis dan mudah dijangkau, itu artinya mesti mengorbankan biaya yang tinggi! (FYIgaes… biaya kontrak/sewa di perumahan Bintaro(nya persis) tahun 2017, dengan luas tanah 60-100m; kira-kira setahunnya 50-60 juta. Buat kita waktu itu, biaya tersebut nggak masuk budget–sama sekali :’D Terlalu mahal).
  2. Ketika mencari biaya yang masuk di kantong, artinya gue mesti siap dengan kondisi rumah (lokasi, lingkungan, fisik rumah) yang seadanya. (Ya, akhirnya dapat kontrak rumah di sektor 4 dengan biaya setahunnya 30 juta. Walaupun masih di sektor 4, tapi rumah ini tidak termasuk perumahan Bintaro. Rumah itu memakai tanah milik warga perkampungan sekitar yang akhirnya dijual dan dibangun rumah-rumah. Nah, rumah-rumah ini bersebelahan persis dengan jalan Cucur.

Saat itu kita pilih opsi pengorbanan kedua. Sebenarnya bapak sempat menyarankan mengambil kontrakan di dekat kantornya di wilayah CBD Bintaro. Tapi opsi ini lebih besar lagi pengorbanan yang akan dilakukan, karena lokasi yang jauh dari tempat biasa kami tinggal (di pertengahan Bintaro, bukan di pinggiran :’D), jadi kami tolak dengan halus.

Beberapa pengorbanan besar itu mencakup: kedekatan dengan rumah orang tua, masjid Zakki Musthofa kami tercinta, serta teman-teman; fasilitas-fasilitas lainnya seperti hiburan, keuangan, kesehatan dan mudahnya akses menuju Jakarta untuk suamik yang pulang pergi Bintaro Rawamangun setiap harinya.

IMG_20170501_074251
Jalan Pagi di depan Bintaro Jaya Xchange

Biarlah, untuk sementara kita mengorbankan lingkungan dan kondisi rumah kontrakan sektor 4 demi mendapat kenyamanan yang jauh lebih banyak. Walaupun pilihan ini lambat laun direweli orang tua. Hal inilah yang kemudian membuat berpikir lebih jauh dan lebih matang dalam memilih hunian selanjutnya.

Akankah kami tetap tinggal di Bintaro? Nantikan cerita Mita selanjutnya, ya 🙂

1 Comment

  1. Dari zaman lo kos di depok juga, lo lebih sering pindah kosan mit drpd gw 😂😂 gw malah excited kl mesti nomaden tapi nasib seakan buat gw jd org ‘setia’ 😏

Leave a comment